Tags

, , ,


ANALISIS KRITIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB & ALTERNATIF SOLUSI PENANGGULANGANNYA  

I.              PENDAHULUAN 

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan Provinsi yang termasuk kategori paling miskin di Indonesia.  Penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur diperkirakan saat ini berjumlah 4,446,433 jiwa (BPS NTT, 2007).  Selama periode 1996-1999, jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami kenaikan yaitu 1.395.100 jiwa pada tahun 1996 menjadi 1.779.000 jiwa (46,73%) pada tahun 1999.  Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik pada Tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Tahun 2003 turun menjadi 1.165.900 jiwa dan pada Tahun 2004 turun lagi menjadi 1.152.100 jiwa.

Berdasaran data Komisi Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2008, dari 905.058 Rumah Tangga di Nusa Tenggara Timur terdapat Rumah Tangga Rentan sebanyak 187.899 (20,76%); Rumah Tangga Miskin sebanyak 297.983 (32,92%) dan Rumah Tangga Sangat Miskin sebanyak 137.224 (15,16%).  Dengan terjadinya kenaikan harga BBM dan harga-harga bahan kebutuhan pokok lainnya menyebabkan rumah tangga rentan di Nusa Tenggara Timur berpotensi untuk jatuh ke dalam kondisi rumah tangga miskin sedangkan rumah tangga miskin akan terperosok masuk ke dalam kondisi rumah tangga sangat miskin.

Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur ini disebabkan oleh berbagai faktor.  Faktor-faktor tersebut antara lain : sumber daya alam yang terbatas dan kondisi geografis yang rawan bencana; kualitas sumber daya manusia yang relatif terbatas serta kesenjangan alokasi pembangunan antar Daerah di Indonesia.  Krisis multi dimensional dan berbagai kebijakan Pemerintah yang kurang pro rakyat miskin menyebabkan Nusa Tenggara Timur semakin sulit untuk menggeliat dari kemiskinan yang membelenggunya.

Apabila dipandang dari berbagai aspek secara komprehensif, sesungguhnya Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai peluang besar untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.  Posisi geografis Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan 2 (dua) negara asing dan merupakan pintu gerbang internasional untuk wilayah Timur Indonesia mempunyai aspek politik dan ekonomi yang sangat besar nilai jualnya.  Selain itu sumber daya alam laut yang belum dieksplorasi dan belum dikelola dengan baik sesungguhya mempunyai potensi untuk menunjang perekonomian Nusa Tenggara Timur.  Sehubungan dengan hal tersebut, penyusun mencoba mengkritisi berbagai faktor penyebab kemiskinan di Nusa Tenggara Timur dan potensi-potensi yang dapat dikembangkan untuk menanggulanginya.  

A.   SEKILAS PROFIL NUSA TENGGARA TIMUR 

1.    Geografis

Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak pada 8° – 12° Lintang Selatan dan 118° – 125° Bujur Timur.  Secara geografis, Nusa Tenggara Timur terletak di belahan paling Selatan Indonesia. Di bagian barat berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat, di sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar, di timur berbatasan dengan Provinsi Makuku dan Negara Republik Demokratik Timor Leste serta di selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.  Luas daratan di Provinsi ini 47.349,9 Km² dan luas lautan ± 200.000 Km². 

2.    Wilayah Administratif

Secara administratif, Provinsi Nusa Tenggara Timur terbagi atas 1 Kota dan 19 Kabupaten, masing-masing : Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Barat dan Kabupaten yang baru saja diresmikan pada Tahun 2007 yaitu Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Nage Keo dan Manggarai Timur.

3.    Iklim dan Cuaca

Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki iklim yang sangat tipikal.  Musim penghujan relatif pendek (3-4 bulan dalam setahun) dengan rata-rata curah hujan berkisar 800 – 3.000 mm per tahun serta panjang hari hujan rata-rata 100 hari per tahun (BMG NTT, 2006).  Suhu minimum dan maksimum berkisar antara 23o – 34o C. Iklim seperti ini menyebabkan Provinsi Nusa Tenggara Timur cenderung tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering).

4.    Topografi

Kondisi topografi Nusa Tenggara Timur kurang menguntungkan.  Semua pulau memiliki topografi yang dominan berbukit-bukit dan bergunung-gunung.  Lahan yang relatif datar umumnya memanjang sepanjang pantai atau diapit oleh dataran tinggi atau perbukitan.  Lahan yang memiliki kemiringan di atas 40% mencapai 35,07% dari luas seluruh daratan. Begitu pula dengan lahan yang memiliki kemiringan 15 – 40% mencapai 35,46%. Dengan demikian, lahan yang relatif datar (kemiringan kurang dari 15%) hanya sebesar 29,47% dari luas seluruh daratannya.

Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki keanekaragaman etnis.  Terdapat lebih dari 20 ethno-linguistic groups yang tidak memiliki tradisi kebersamaan yang kokoh.  Keterpisahan ini juga dipengaruhi oleh adanya pembatas-pembatas topografi perbukitan dan pegunungan, serta kondisi kepulauan.

5.    Mata Pencaharian

Struktur ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur bersandar pada sektor pertanian dan jasa pemerintahan.  Ini terlihat dari kontribusi setiap sektor terhadap PDRB.  Sektor pertanian memberi sumbangan sebesar 37,69% yang kemudian diikuti dengan sektor jasa pemerintah sebesar 20,25%, sektor perdagangan sebesar 14,20%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,76%, sektor bangunan dan kontruksi sebesar 6,5% sedangkan sektor lain sumbangannya kurang dari 5%.   

B.   KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR 

Prosentase penduduk miskin di perdesaan Nusa Tenggara Timur relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaannya.  Dibandingkan dengan Provinsi lain, pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan ketiga setelah Maluku dan Irian Jaya.  Pada tahun 1999 Provinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan kedua setelah Irian Jaya.  Gubernur Nusa Tenggara Timur, Piet A. Tallo pernah menolak julukan miskin bagi Nusa Tenggara Timur. Beliau menyatakan bahwa “Mungkin warga Nusa Tenggara Timur belum se-makmur saudara-saudaranya dari daerah lain, tetapi Provinsi ini sedang mengeksplorasi berbagai potensi tambang dan kekayaan alam lain yang kelak akan membantu mengubah nasibnya”.

Pelaku ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur umumnya terdiri dari petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil dan pengrajin kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal perkotaan.  Bagi para petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk komoditas perkebunan seperti Cengkeh, Kopi, Vanili, Jambu Mete, tingkat ekonomi mereka cukup memadai.  Di Sabu dan Rote, sebagian pelaku ekonomi kecil di pesisir pantai mengalami kemajuan berkat budidaya rumput laut. Di Apui (Alor), sejumlah kelompok tani yang menanam vanili mendapat penghasilan yang cukup besar karena harga komoditas ini cukup tinggi.  Namun bagi para petani yang mengandalkan tanaman pangan dengan wilayah yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka memprihatinkan. Para peternak di Timor Tengah Selatan tidak menunjukkan status ekonomi yang lebih baik dari para petani yang menanam tanaman pangan sekalipun daerah ini merupakan gudang ternak (sapi).  Demikian juga para nelayan kecil di pesisir pantai Flores, Sumba, Alor dan Timor, kondisi mereka tidak dapat digolongkan mampu secara ekonomis.

Salah satu masalah yang menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan di perdesaan Nusa Tenggara Timur sulit berkembang adalah bahwa mereka jauh dari permintaan (pasar). Jauh bukan hanya dalam arti fisik saja, tetapi lebih penting adalah aksesibilitas. Mereka memasuki pasar pembeli (buyer market) secara individual tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, posisi tawar mereka sangat lemah. Petani Vanili di Apui (Alor) yang baru saja menikmati harga vanili yang tinggi, saay ini mulai merasakan bahwa harga vanili sangat ditentukan oleh pembeli (pedagang skala menengah dan besar). Para peternak di TTS sudah sejak lama takluk dengan para pembeli (pedagang). Penghasil rumput laut di Rote dan Sabu juga mulai merasakan betapa fluktuasi harga yang terjadi sulit mereka kendalikan. Sementara itu sebagian nelayan di Pulau Timor secara perlahan-lahan telah bertransformasi menjadi buruh nelayan.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan yang terjadi.  Strategi pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur dilakukan berdasarkan pertumbuhan melalui pemerataan dengan prinsip membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat, dengan titik berat pembangunan yang berlandaskan pada pembangunan ekonomi rakyat, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat.  Strategi pembangunan yang menjadi pilihan tersebut memerlukan langkah-langkah operasional yang terukur dan disesuaikan dengan paradigma baru pembangunan.

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah Nusa Tenggara Timur adalah meningkatkan standar hidup layak yang diukur dengan indikator pendapatan per kapita riil masyarakat (Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 9 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah Tahun 2001-2004, hlm. 19).  Pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita dapat dijadikan sebagai indikator kemajuan pembangunan ekonomi di Nusa Tenggara Timur.  

C.  PRADUGA MENGENAI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR DAN HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PEMERINTAH UNTUK PENANGGULANGANNYA 

Walaupun telah banyak bantuan yang disalurkan kepada Masyarakat tetapi kemajuan dan keberhasilan Masyarakat dalam meningkatkan taraf Kesejahteraan Sosialnya relatif rendah.  Hal ini dibuktikan antara lain dengan data statistik penduduk miskin yang relatif masih tinggi.  Hasil pemantauan, monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah menunjukkan bahwa sebagian besar bantuan yang diberikan kepada Masyarakat tidak berkembang bahkan cenderung habis tidak berbekas.  Pola hidup penerima bantuan tidak berubah dan taraf Kesejahteraan Sosialnya tidak meningkat (tetap miskin). 

Apabila ditinjau dari sistem anggaran berbasis kinerja yang diterapkan di Indonesia dan tahapan dalam program pemberdayaan Masyarakat termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur maka seharusnya bantuan yang disediakan oleh Pemerintah mempunyai daya ungkit terhadap taraf kehidupan dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat.  Alokasi anggaran yang relatif belum memadai, terbatasnya waktu pelaksanaan kegiatan (bimbingan dan pemberian bantuan) tidak dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenaran terhadap kegagalan pemanfaatan bantuan, demikian pula alasan-alasan lainnya.

Penyusun mencoba membuat praduga awal mengenai faktor-faktor penyebab lambatnya upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan Kesejahteraan Sosial Masyarakat serta faktor-faktor penyebab kegagalan berbagai program Pemerintah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai berikut :

1.    Kondisi yang kurang menguntungkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebabkan rendahnya minat investor untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam bawah tanah.  Hal ini kemudian berpengaruh terhadap rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

2.    Masih terbatasnya sumber daya alam yang bisa digali dan dimanfaatkan antara lain menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3.    Bantuan yang dialokasikan oleh Pemerintah untuk upaya pemberdayaan masyarakat belum sesuai dengan kondisi geografis dan musim (cuaca) di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

4.    Monitoring dan Evaluasi yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah (Pusat dan Daerah) sifatnya sangat parsial dan hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.  Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi ridak dilakukan analisa terhadap berbagai faktor pendukung keberhasilan ataupun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dalam pengelolaan bantuan.

5.    Pola hidup dan kebudayaan Masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang cenderung masih sangat konsumtif.

6.    Kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dalam mengelola sumber daya alam maupun bantuan yang tersedia.  Hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan sebagian besar Masyarakat untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi.

7.   Rendahnya tanggung jawab sosial Instansi Pemerintah dalam membimbing Masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan bantuan yang disediakan.

8.    Rendahnya tanggung jawab sosial terhadap kehidupannya sendiri maupun terhadap bantuan yang disediakan oleh Pemerintah. 

II.  TINJAUAN PUSTAKA 

A.   POLA NAFKAH LOKAL

(ACUAN MENGKAJI KEMISKINAN DI ERA OTONOMI DAERAH : KASUS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Peneliti/Penulis : IDBM Adiyoga dan Erni Herawati 

Dalam laporan hasil penelitiannya, Adiyoga dan Erni Herawati menyebutkan bahwa kemiskinan di Nusa Tenggara Timur disebabkan oleh terjadinya pergeseran atau melemahnya beberapa aspek atau komponen dalam kehidupan masyarakat maupun sumber daya alam.  Aspek-aspek tersebut adalah :

1.    Budaya Nafkah

Pola penggunaan lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur mencerminkan pola budaya nafkah agro-pastoral. Dalam budaya nafkah agro-pastoral, umumnya mereka menyandarkan sumber nafkahnya pada aktivitas ladang/kebun dan beternak.  Salah satu ciri budaya nafkah di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah aktivitas pertanian ladang/kebun umumnya tidak berorientasi pada pasar melainkan berorientasi untuk pemenuhan konsumsi keluarga sehari-hari (subsisten). Sementara investasi mereka diwujudkan dalam bentuk usaha peternakan (ekstensif dengan cara penggembalaan).

Bagi sebagian besar penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ternak merupakan salah satu bentuk investasi sosial. Kepemilikan ternak (terutama ternak sapi dan kuda) mencerminkan status sosial suatu keluarga. Ternak tersebut umumnya digunakan sebagai mas kawin (belis menurut istilah setempat) dan upacara-upacara adat lainnya. Karena ternak sapi dan kuda memiliki nilai sosial yang tinggi maka umumnya jarang dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (kecuali untuk kebutuhan sehari-hari yang sangat mendesak). Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Manggarai, mereka masih menggunakan ternak kerbau sebagi belis.

Bila diperhatikan lebih dalam pola sumber-nafkah agro-pastoral dapat dikatakan merupakan salah satu cara mereka menjamin ketersediaan pangan  secara berlapis-lapis (food secutiry) untuk menghadapi kondisi lingkungan fisik yang kurang bersahabat bagi usaha-usaha pertanian. Dengan pola sumber nafkah semacam ini mereka memiliki tiga penyangga ketersediaan pangan yaitu:

a.    Penyangga pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan). Produksi usaha tani ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (pada dasarnya pola hidup mereka berorientasi pada kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak berorientasi pada pasar).

b.    Bila penyangga pertama runtuh (misal karena ada panceklik) maka mereka masih memiliki penyangga kedua yaitu ternak besar (terutama sapi, kerbau dan kuda). Mereka masih mampu menjual ternaknya untuk memperoleh kebutuhan pangan.

c.    Bila penyangga kedua ini tidak berhasil maka mereka masih memiliki peyangga ketiga, yaitu tanaman pangan yang tersedia di hutan (non budidaya–liar) seperti: ubi hutan – berbentuk bulat sebesar kelereng dan bewarna hitam, talas lias, dan lain-lain.

2.    Modal Sosial

Sebagian besar suku di Provinsi Nusa Tenggara umumnya menganut genealogis teritorial.  Mereka percaya bahwa seluruh warga suku sebenarnya merupakan satu asal keturunan, yang memiliki budaya, bahasa dan wilayah adat tertentu.

3.    Sejarah Program Penanggulangan Kemiskinan

Bila dilihat sejarah program pembangunan di Provinsi ini, terlihat banyak program-program pembangunannya yang mengandung upaya penang­gulang­an kemiskinan. Mulai dari Gerakan Penghijauan atau Komando Gerakan Makmur (KOGM) di era Gubernur W.J. Lalamentik (1958-1966), Program Swasembada pangan (beras) di era Gubernur El Tari (1966-1978), Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Hijau dan Operasi Nusa Sehat di era Gubernur Ben Mboy (1978-1988), Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat dan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) di era Gubernur Herman Fernandez hingga program-program pembangunan daerah yang berlandaskan pada filosofi ‘membangun dari apa yang ada dan dimiliki oleh Rakyat’ yang saat ini diacu oleh Gubenur Piet A. Tallo, secara implisit maupun ekspilit sarat dengan nuansa penanggulangan kemiskinan.  Hal ini jelas menggambarkan kuatnya kepedulian Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap issu kemiskinan.

Bila dilihat lebih dalam sejarah program-program penanggulangan kemiskinan di Provinsi ini, terlihat ada pergeseran yang silih berganti.  Pada periode awal (1958-1978), terlihat inisiatif lokal cukup menonjol. Di tahun-tahun berikutnya, program-program yang merupakan inisiatif lokal ini cenderung tergeser dengan program-program yang berasal dari pemerintah pusat. Baru kemudian mulai tahun 2001, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur merumuskan kembali program-program pembangunannya sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.

4.    Strategi Pemberdayaan Penduduk Miskin

a.    Memfokuskan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pendidikan serta dalam mengakses pelayanan kesehatan. Upaya meningkatkan keberdayaan ini dilakukan dengan memperkokoh usaha pertanian ladang, peternakan dan konservasi alam yang merupakan penyangga ketahanan pangan mereka.

b.    Memfokuskan pada upaya penciptaan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi keluarga miskin untuk beralih dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Upaya ini dilakukan dengan mempermudah akses keluarga miskin ke sumber modal usaha, tehnologi dan informasi yang diperlukan. Penumbuhkembangan sektor-sektor non pertanian yang ‘dekat’ dengan keluarga miskin (kerajian rakyat, perdagangan kecil-sektor informal, dan lain-lain) diharapkan dapat menjadi penyangga pangan keempat setelah usaha tani/ladang, usaha peternakan dan stok pangan non budidaya di hutan.

c.    Upaya peningkatan keberdayaan keluarga miskin ini dikaitkan dengan upaya pemberdayaan komunitasnya (masyarakat desa/kelurahan) agar mampu membantu warganya mengatasi masalah kemiskinan yang ada di lingkungannya. Untuk tujuan ini, falsafah yang diacu oleh setiap program pembangunan di Provinsi ini adalah “membangun dari apa yang ada dan dimiliki oleh rakyat”, suatu filosofi yang secara implisit mengakui pentingnya memperhatikan konteks lokal.

d.    Melakukan reposisi peran pihak-pihak ‘luar desa’ (pemerintah, LSM, kalangan dunia usaha, kalangan perguruan tinggi, dan lain-lain), dari semula sebagai agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan.

Upaya pemberdayaan keluarga miskin yang berbasis komunitas ini dilakukan dengan cara pemberian kewenangan luas kepada masyarakat desa/kelurahan dalam mengelola upaya penanggulangan kemiskinan yang ada di wilayahnya. Kewenangan tersebut meliputi :

1)    Kewenangan untuk menentukan sendiri aktivitas penanggulangan kemiskinan yang akan dilaksanakan di desa/kelurahannya. Ini berarti peran perancangan kegiatan harus dipegang sepenuhnya oleh masyarakat desa/kelurahan (semacam master plan di desa). Pihak luar desa (pemerintah, LSM, kalangan usaha, dan lain-lain) dapat memberi kontribusinya dengan mengacu pada desain besar (grand design) yang dibuat oleh masyarakat desa/kelurahan itu sendiri (melalui kontrak sosial antara masyarakat desa/kelurahan dengan pihak luar desa/kelurahan). Dengan pendekatan semacam ini maka :

         Semua aktivitas penanggulangan kemiskinan di aras desa/kelurahan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat desa/kelurahan dan sesuai dengan konteks setempat – kontektual (sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan fisiknya).

         Semua aktivitas penanggulangan kemiskinan sepenuhnya mengacu pada pemanfaatan secara optimal sumberdaya setempat dan pemanfaatan secara bijak sumberdaya dari luar.

         Tidak ada lagi pihak luar desa yang membawa masing-masing bendera program penanggulangan kemiskinannya (ego sektoral), yang seringkali tumpang-tindih satu dengan lainnya dan acapkali tidak sesuai dengan konteks setempat (kebijakan satu pintu untuk setiap bantuan dari pihak luar desa/kelurahan)

2)    Masyarakat desa/kelurahan diberi peluang luas untuk melaksanakan sendiri aktivitas penanggulangan kemiskinan yang ada di wilayahnya. Pihak luar desa, dapat memberi kontribusi dalam tahap ini, terutama kontribusi terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat desa/kelurahan (seperti: kahlian teknis tertentu, informasi-informasi terhadap peluang-peluang pasar yang ada di luar desa, tehnologi yang tersedia, dan lain-lainnya).

3)    Masyarakat desa/kelurahan diberi pula peluang untuk menumbuhkan sendiri prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas terhadap setiap aktivitas penanggulangan kemiskinan yang mereka lakukan (menumbuhkan kontrol publik). Ini berarti bahwa orientasi pertanggungjawaban fokusnya harus dtujukan kepada keluarga miskin dan masyarakat desa/kelurahan (komunitasnya) dan tidak lagi semata-mata ditujukan ke pihak-pihak di aras atas desa.

Upaya pemberdayaan penduduk miskin yang berbasis komunitas menuntut adanya perubahan cara berpikir dan bertindak (reposisi peran) pihak luar desa. Disini harus dipahami bersama bahwa keluarga miskin tidaklah tinggal dalam ruang hampa. Mereka berinteraksi dengan lingkungannya (warga desa lainnya -komunitas desanya dan lingkungan fisiknya) dan berinteraksi pula dengan lingkungan luar desa. Oleh sebab itu, perubahan lingkungan luar desa dapat mempengaruhi pula kehidupan keluarga miskin. Dengan kata lain, perubahan paradigma yang menekankan pada peran luas masyarakat desa/kelurahan harus pula diikuti dengan perubahan paradigma berpikir dan bertindak semua pihak di aras atas desa yang terkait (stakeholders).

Fakta empiris yang dijumpai di Nusa Tenggara Timur adalah telah tumbuhnya political will dari para pembuat kebijakan pemerintah diatas Provinsi hingga kabupaten/kota untuk merubah paradigma yang bersifat sentralistik ke arah desentralistik, termasuk yang memberi peluang bagi masyarakat desa/kelurahan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan desa/kelurahannya masing-masing Political will ini secara legal formal terlihat (eksplisit) dalam setiap dokumen perencaan mereka (dokumen Pola Dasar Pembangunan, Propram Pembangunan Daerah dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah)

Hanya saja, fakta empirik menunjukkan bahwa masih terjadi pelencengan kebijakan (slippery policy) sehingga acapkali terjadi gap antara konsep yang baik (yang sudah mengacu pada paradigma yang menepatkan masyarakat desa/kelurahan sebagai subyek utama) dengan implementasi di lapang yang buruk (yang masih menggunakan paradigma lama dimana pemerintah masih didudukkan sebagai agen pembangunan dan masyarakat desa/kelurahan hanya sekedar obyek saja).

Hal yang tidak kalah penting, dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin (terutama yang terkait dengan suistainable livelihood) yang berbasis komunitas adalah memberi penghargaan yang lebih besar pada lingkungan alam dan kearifan-kearifan lokal yang terbukti adaptif dengan lingkungan alamnya. Ini diberi stressing khusus karena pada dasarnya, masyarakat Nusa Tenggara Timur telah memiliki pola nafkah tradisional (pola nafkah agro-pastoral) yang terbukti secara turun menurun adaptif terhadap konteks ekologi yang tergolong semi-arid (lahan kering). Secara tradisional ketahanan pangan mereka (food security) bersandar pada 3 penyanggah yaitu :1) Penyangga pertama adalah usaha tani lading (jagung, ketela pohon dan kacang-kacangan), 2) Penyangga kedua adalah ternak besar (sapi, kerbau dan kuda), 3) Penyangga ketiga adalah tanaman pangan yang tersedia di hutan. 

Oleh sebab itu, bila dilihat secara mendalam, dapat dikatakan semua aturan-aturan adat, dan lain-lain, sebenarnya mengarah pada upaya menjaga agar ketiga penyangga tersebut tetap kokoh. Hanya saja input-input  baru dari luar acapkali justru melemahkan aturan-aturan adat yang telah ada sebelumnya sehingga mengarah pada pengikisan ketiga penyangga tersebut.  

B.   TANTANGAN PEMBANGUNAN DI NUSA TENGGARA TIMUR

Peneliti/Penulis : Lembaga Penelitian SMERU 

1.    Kondisi Kemiskinan di NUSA TENGGARA TIMUR

Data BPS (2004) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendapatan masyarakat Nusa Tenggara Timur kurang dari sepertiga rata-rata masyarakat Indonesia. Pada tahun 2004, diperkirakan rata-rata pendapatan masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah sekitar Rp. 2,9 juta per orang per tahun, sedangkan pendapatan masyarakat Indonesia hampir mencapai Rp. 9,5 juta per orang per tahun.  Survei sosial-ekonomi nasional BPS memperkirakan bahwa pada 2004 sekitar 1,152 juta atau 27,86% penduduk Nusa Tenggara Timur tergolong miskin.  Kemiskinan ini diukur dari tingkat pengeluaran untuk konsumsi yang kurang dari garis kemiskinan, yaitu Rp. 102.635,- per kapita per bulan.  

Hampir 90% dari penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur berada di perdesaan dan 82% di antaranya bekerja di sektor pertanian.  Meskipun dalam lima tahun terakhir jumlah penduduk miskin terus menurun, angka kemiskinan pada Tahun 2004 tersebut masih jauh di atas angka kemiskinan nasional, yaitu 16,66%. Selain itu, sebaran tingkat pengeluaran di antara penduduk miskin juga memperlihatkan bahwa proporsi penduduk miskin yang tingkat pengeluarannya jauh di bawah garis kemiskinan ternyata lebih besar dibandingkan tingkat nasional.  Hal ini mencerminkan parahnya kondisi kemiskinan di Nusa Tenggara Timur.

2.    Kondisi Pendidikan di Nusa Tenggara Timur

Beberapa indikator yang terpilah menunjukkan adanya persoalan ketimpangan gender dan akses penduduk miskin dalam bidang pendidikan.  Meskipun secara umum pencapaian pendidikan meningkat, ketimpangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan justru meningkat.  Pada saat rata-rata lama sekolah anak laki-laki meningkat dari 5,9 tahun pada 1999 menjadi 6,6 tahun pada 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan selama periode tersebut tetap 5,2 tahun.  Selain itu, angka partisipasi sekolah dan putus sekolah memperlihatkan ketimpangan akses antara masyarakat miskin dan tidak miskin, khususnya pada anak usia 13-15 tahun (SMP).  Pada Tahun 2004, di kalangan keluarga miskin, sekitar 90,98% anak usia 7-12 tahun dan 71,15% anak usia 13 – 15 tahun bersekolah, sedangkan di keluarga tidak miskin sekitar 94,33% anak usia 7 – 12 tahun dan 80,18% anak usia 13-15 tahun bersekolah.  Angka putus sekolah anak usia 7 – 12 tahun di kalangan keluarga miskin dan tidak miskin hampir sama, yaitu sekitar 1,5%.

Beberapa faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap rendahnya tingkat pendidikan di Nusa Tenggara Timur adalah rendahnya pendapatan keluarga dan jarak ke sekolah, khususnya bagi murid SMP dan SMA, karena sekolah terletak di ibukota kecamatan.  Hal yang semakin mengurangi akses anak perempuan untuk bersekolah adalah faktor keamanan, dan adat lokal yang kurang menghargai pendidikan untuk anak perempuan.

Kualitas guru dan mutu kurikulum yang rendah juga menghambat perkembangan kemampuan siswa, sedangkan masalah kekerasan terhadap murid menyebabkan kegiatan belajar menjadi kurang menyenangkan dan anak-anak menjadi malas bersekolah.  Program pendidikan pada era Orde Baru lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur dan kurang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat kurang memedulikan pemeliharaan sarana (gedung) sekolah dan kurang memberikan dorongan belajar bagi anak-anak. Masalah kualitas pendidikan juga dihadapkan pada masalah klasik menyangkut distribusi guru yang tidak merata, yang menyebabkan kebanyakan guru berada di daerah perkotaan.

3.    Kondisi Kesehatan di Nusa Tenggara Timur

Di bidang kesehatan, Nusa Tenggara Timur dihadapkan pada masalah penyakit menular (khususnya malaria dan TBC), tingginya kematian ibu melahirkan, dan kematian bayi.  Tingginya kasus malaria dan TBC memengaruhi kondisi kesehatan dan produktivitas masyarakat serta menyebabkan tingginya kematian ibu melahirkan.  Tingginya kematian ibu melahirkan juga dipengaruhi oleh cara pertolongan persalinan.  Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003 di Nusa Tenggara Timur menemukan bahwa meskipun program bidan desa telah dikembangkan, 72% kelahiran dilakukan di rumah dan 54,2% kelahiran ditolong oleh dukun beranak (Suharyo 2004).

Program kesehatan yang dialokasikan untuk Nusa Tenggara Timur masih lebih banyak menekankan pada pembangunan infrastruktur dan belum mampu mengatasi masalah kesehatan di Nusa Tenggara Timur.  Meskipun pembangunan tersebut telah meningkatkan rasio fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan terhadap pasien namun ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan masih kurang memadai. Selain itu, beberapa analisis juga mengungkapkan kurangnya pendekatan preventif jangka panjang dalam penanganan masalah gizi buruk dan kematian ibu melahirkan, karena permasalahan tersebut juga dipengaruhi oleh adat/kebiasaan masyarakat, Misalnya, budaya paternalistik yang membenarkan dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan sering mengakibatkan ibu hamil terlambat dibawa ke rumah sakit.  Beberapa kebiasaan dalam cara memberi makan bayi yang kurang bersih dan pola konsumsi makanan yang kurang bergizi juga memengaruhi kematian bayi dan gizi buruk pada anak-anak.

4.    Kondisi dan Perkembangan Perekonomian di Nusa Tenggara Timur

Salah satu faktor utama yang memengaruhi kemiskinan adalah perkembangan ekonomi daerah.  Data memperlihatkan penurunan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2005 turun menjadi 3,1% dari 4,8% pada tahun 2004 (BPS NTT, 2006).  Nilai ini jauh lebih kecil dari pertumbuhan nasional Indonesia, yaitu 5,6% pada 2005 dan 5,1% pada 2004.  Pertumbuhan ekonomi Nusa Tenggara Timur triwulan II 2006 tercatat 2,55%, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama pada 2005 yang mencapai 4,67%.  Penurunan laju pertumbuhan ini mengkhawatirkan karena kemungkinan hal ini berhubungan kuat dengan melemahnya laju penurunan proporsi penduduk miskin.

Melemahnya perekonomian Nusa Tenggara Timur pada tahun 2005 disebabkan kecilnya pertumbuhan sektor pertanian sebagai akibat seringnya terjadi bencana yang kemudian berdampak pada terjadinya gagal panen.  Hal ini membuat subsektor tanaman pangan mengalami pertumbuhan negatif (-2,03%).  Tingginya kerentanan ekonomi dan resiko tinggi yang terjadi pada sektor pertanian antara lain juga disebabkan oleh curah hujan yang tinggi tetapi dalam waktu/musim yang sangat singkat serta kondisi tanah yang relatif kurang subur.

Dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun lalu, tampaknya tidak ada perubahan signifikan dalam struktur perekonomian Nusa Tenggara Timur.  Dari sisi penyerapan tenaga kerja, hanya terjadi sedikit pergeseran penyerapan tenaga kerja antarsektor.  Dilihat dari kontribusi sektoral dalam PDRB juga hampir tidak ada perubahan yang berarti, bahkan ada sedikit penurunan pada kontribusi sektor industri pengolahan dan sedikit peningkatan kontribusi sektor perdagangan, jasa pemerintahan umum, dan subsektor perternakan. Pertumbuhan sektoral tahun 2000-2004 juga memperlihatkan bahwa sektor jasa pemerintahan umum, pengangkutan dan telekomunikasi, dan perdagangan merupakan tiga sektor dengan tingkat pertumbuhan yang paling tinggi.  Dinamika perekonomian Nusa Tenggara Timur tersebut memperlihatkan bahwa pembangunan di provinsi tersebut belum mengikuti pola umum perkembangan perekonomian, di mana peranan sektor pertanian mulai digantikan oleh sektor industri dan jasa.  Dapat dikatakan bahwa sektor industri di Nusa Tenggara Timur tidak mengalami perkembangan berarti sehingga sektor ini tidak berperan dalam mengurangi kemiskinan di sektor pertanian.  Perkembangan sektor jasa juga masih terlalu kecil dan cenderung rapuh karena tidak didukung oleh sektor industri yang menciptakan nilai tambah bagi sektor pertanian.  Sementara itu, peningkatan kontribusi sektor jasa pemerintahan umum memperlihatkan besarnya peranan pengeluaran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian.

5.    Pelayanan Keuangan Mikro (LKM) di Nusa Tenggara Timur TIMUR

Pelayanan keuangan mikro di Nusa Tenggara Timur telah diberikan oleh lembaga keuangan formal bank dan nonbank (koperasi dan pegadaian), lembaga keuangan nonformal, program pemerintah, dan lembaga keuangan informal.  Namun jumlah pelayanan bank terbilang minim.  Dibandingkan NTB yang pada 2001 memiliki 100 kantor bank umum, pada tahun yang sama di Nusa Tenggara Timur hanya terdapat 30 kantor bank umum.  Ketersediaan layanan bank umum di Nusa Tenggara Timur masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional.  Hasil studi SMERU yang dilaksanakan tahun 2004 di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Manggarai menunjukkan bahwa sulitnya golongan miskin mengakses pelayanan bank dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a.   Bentuk layanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin

b.   Persyaratan pinjaman yang ketat

c.    Minimnya jumlah kantor bank di tingkat lokal

d.   Pinjaman dari bank cenderung hanya dapat diakses oleh golongan berpenghasilan tetap (golbertap) atau yang memiliki usaha.

e.   Pelayanan keuangan mikro untuk golongan miskin umumnya diberikan dalam bentuk kredit, terutama untuk usaha non pertanian.

Kredit yang diberikan pemerintah kebanyakan diberikan dengan sistem dana bergulir (revolving fund), dengan waktu pengembalian yang sangat singkat, yaitu maksimal satu tahun.  Hal ini membuat terbatasnya ketersediaan modal usaha dan menghambat perkembangan usaha golongan miskin. Idealnya, pengembalian dana dan rotasi perguliran dana adalah sekitar tiga hingga lima tahun.  Selain itu, kredit usaha sering kurang dapat diakses petani karena skema kredit yang tersedia tidak sesuai dengan pola kegiatan usaha tani. 

Pengembangan pelayanan lembaga keuangan mikro (LKM) di Nusa Tenggara Timur, terutama pelayanan kredit usaha produksi, secara tidak langsung dibatasi oleh kecilnya skala perekonomian daerah.  Iklim dan kesuburan lahan yang kurang mendukung usaha pertanian dan hasil produksi yang rendah, menyebabkan tingkat permintaan kredit menjadi terbatas (lack of demand).  Keadaan ini memperkecil peluang pengembangan usaha yang telah ada atau pun penciptaan usaha baru.  Akibatnya, kebanyakan usaha yang berskala mikro menjadi tidak berkembang dan lembaga keuangan mikro pun tidak tertarik untuk mengembangkan pelayanannya di Nusa Tenggara Timur.

Hasil kajian SMERU juga mengungkapkan fakta bahwa cukup banyak dana kredit usaha yang ternyata tidak dipakai untuk kepentingan usaha.  Dalam kondisi produksi terbatas dan berfluktuasi, masyarakat miskin justru memerlukan kredit untuk menutup berbagai pengeluaran darurat yang tidak terkait langsung dengan usahanya.  Mereka memerlukan pelayanan keuangan yang dapat menjaga keamanan pangan dan menyediakan investasi jangka panjang di bidang pendidikan dan perumahan.  Ketersediaan kredit untuk tujuan non usaha seperti ini diperlukan masyarakat miskin agar aset produktifnya dapat dipertahankan dan usahanya dapat tetap berjalan.  Namun hampir tidak ada lembaga keuangan nonformal yang memberikan kredit non usaha seperti ini.  Pelayanan tabungan untuk masyarakat miskin di Nusa Tenggara Timur juga masih terbatas. Golongan ini tidak mengakses pelayanan tabungan di bank, antara lain karena lokasinya terlalu jauh. Sementara itu, lembaga non bank tidak mengembangkan pelayanan tabungan secara memadai, dan peraturan perundang-undangan tidak memperbolehkan lembaga nonformal untuk memobilisasi dana masyarakat.

6.    Kondisi Budaya di Nusa Tenggara Timur

Faktor dan kondisi budaya di Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu penyebab kemiskinan ternyata menimbulkan berbagai sikap dan pendapat, baik yang pro maupun yang kontra.  Studi SMERU di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, menemukan adanya berbagai macam pendapat menyangkut soal belis (Mawardi 2006).  Salah satu pendapat yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat dalam komunitas yang diteliti adalah menyangkut pengaruh belis terhadap kondisi kesejahteraan keluarga.  Pada umumnya masyarakat, terutama dari generasi muda, merasa belis sebagai suatu beban yang harus dipenuhi terutama pada saat perkawinan dan kematian.  Beban ini dirasakan memberatkan perekonomian keluarga, terutama bagi keluarga miskin, karena terbatasnya aset yang mereka miliki untuk melunasi belis.  Aset yang sering dijadikan alat pembayaran belis adalah hewan ternak, seperti sapi maupun babi, sehingga banyak ditemukan masyarakat yang menyimpan asetnya atau menabung dalam bentuk hewan ternak daripada bentuk tabungan lainnya (seperti uang) agar dapat segera digunakan sewaktu-waktu jika ada keperluan adat (belis).  Untuk belis perkawinan, jumlah hewan ternak yang harus diberikan kepada pihak perempuan seringkali melebihi jumlah aset yang dimiliki oleh pihak laki-laki sehingga mereka harus mencicil pembayaran belis selama bertahun-tahun, bahkan tidak jarang harus berutang untuk dapat melunasi belis. 

C.   STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BAPPENAS, 2004 

1.    Definisi Kemiskinan

Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.  Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.  Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan.  Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dar perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.  Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.

Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar. Kemiskinan juga ditandai oleh adanya masalah ketimpangan antarwilayah. Kemiskinan di kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda. Lebih dari 70% penduduk miskin berada di Jawa dan Bali karena lebih dari 60% penduduk Indonesia tinggal di kawasan ini.  Namun, persentase penduduk miskin di luar Jawa dan Bali khususnya di kawasan timur Indonesia jauh lebih tinggi.

2.    Permasalahan kemiskinan

Permasalahan kemiskinan ditinjau dari beberapa aspek penyebab dapat diuraikan sebagai berikut :

a.    Kegagalan Pemenuhan Hak Dasar

1)    Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan

Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan kelayakan pangan berkaitan dengan rendahnya gizi baik nutrisi maupun kalori, dan terbatasnya diversifikasi pangan dengan pola komsumsi yang cenderung mengandalkan beras. Pada umumnya kesulitan pemenuhan pangan ini disebabkan oleh rendahnya daya beli, tata niaga yang tidak efisien, dan kesulitan stok pangan di beberapa daerah yang terjadi pada musim tertentu. Masalah kecukupan pangan bukan hanya terkait dengan produksi bahan pangan, tetapi juga masalah peningkatan pendapatan karena mayoritas petani miskin harus membeli bahan makanan mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyediakan stok pangan yang cukup di tingkat nasional, namun masalah keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pangan belum terpecahkan sepenuhnya.

2)    Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan

Kesehatan merupakan modal masyarakat miskin untuk bekerja dan mencari nafkah, tetapi akses mereka terhadap layanan kesehatan masih sangat terbatas. Selain kecukupan pangan, masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.

Rendahnya tingkat kesehatan miskin juga disebbakan oleh perilaku hidup mereka yang tidak sehat.  Jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh dan biaya yang mahal merupakan faktor penyebab utama rendahnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan yang bermutu. Masalah lainnya dalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan.  Kecenderungan penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata dan terpusat di daerah perkotaan juga menyebabkan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu.

Mahalnya biaya pengobatan merupakan salah satu keluhan utama masyarakat miskin. Bertambahnya jumlah penduduk miskin yang diakibatkan oleh pengeluaran kesehatan menunjukkan peningkatan dari 1,8 juta orang pada tahun 1999 menjadi 2,3 juta orang pada tahun 2001.  Di samping itu jangkauan, jaminan kesehatan yang ada masih sangat rendah.

3)    Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan

Masalah yang dihadapi masyarakat miskin untuk menempuh pendidikan sampai ke pada jenjang yang optimal adalah terbatasnya akses layanan pendidikan dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan pendidikan dasar terutama disebabkan terbatasnya jangkauan fasilitas pendidikan, tingginya beban biaya pendidikan, terbatasnya prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, dan terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan.

Dari sisi ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan, meskipun jumlah gedung SD/MI meningkat tetapi sebagian rusak parah, dan sebagian lagi rusak tapi masih bisa digunakan. Persoalan mengenai terbatasnya peralatan penunjang kegiatan belajar, jumlah guru yang kurang, rendahnya kemampuan guru yang dikemukakan oleh masyarakat miskin, terutama di kalangan nelayan, petani lahan kering, dan buruh tani pada akhirnya berdampak pada rendahnya mutu pendidikan yang diperoleh anak-anak keluarga miskin.

Ditinjau dari jumlah dan persebaran SLTP/MTs, masih terjadi ketimpangan terutama di daerah perdesaan. Hal ini mengakibatkan rendahnya APK dan APM untuk jenjang SLTP/MTs di perdesaan.  Pendidikan nonformal merupakan pendidikan alternatif bagi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, baik yang putus sekolah, tidak sekolah, buta huruf, dan orang dewasa yang menganggur. Pengalaman menunjukkan bahwa Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP yang diselenggarakan melalui pendidikan nonformal hampir 100% diikuti oleh warga belajar dari keluarga miskin. Begitu juga program keaksaraan fungsional, beasiswa anak keluarga miskin dan program kejar usaha sangat diperlukan oleh keluarga miskin.

4)    Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Pengembangan Usaha

Masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan atas pekerjaan yang layak dan peluang yang terbatas untuk mengembangkan usaha mereka.  Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang seimbang dan kurang kepastian akan keberlanjutannya.  Usaha yang dilakukan masyarakat miskin juga sulit berkembang karena menghadapi persaingan yang tidak seimbang, keterbatasan modal, serta kurangnya ketrampilan dan pendidikan.  Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang pengembangan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga.

Keterpaksaan untuk mendapatkan pekerjaan apa saja yang tersedia menyebabkan lemahnya daya tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus mau menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah dengan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pemberi kerja.  Kesulitan ekonomi juga memaksa anak dan perempuan untuk bekerja. Pekerja perempuan, khususnya buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga, serta pekerja anak menghadapi resiko yang sangat tinggi untuk dieksplotasi secara berlebihan, tidak menerima gaji atau digaji sangat murah, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

5)    Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan Sanitasi

Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Kondisi perumahan merupakan ciri utama yang paling sering dipakai dalam mengenali penduduk miskin.  Secara umum, masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya perlindungan atas pemilikan perumahan.

Masalah perumahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin di perkotaan berbeda dengan masyarakat miskin yang berada di perdesaan. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang berada di balik gedung-gedung pertokoan dan perkantoran, dalam petak-petak kecil, saling berhimpit, tidak sehat dan seringkali dalam satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Keluarga miskin di perkotaan juga sering dijumpai tinggal di pinggiran rel, di bawah jembatan tol dan di atas tanah yang diterlantarkan. Mereka sering tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan dianggap sebagai penyandang masalah sosial yang setiap saat bisa digusur dan dipindahkan karena menempati tanah yang bermasalah.

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.

6)    Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih

Masyarakat miskin sering menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kesulitan tersebut terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap air bersih, terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Keterbatasan akses terhadap air bersih akan berakibat pada penurunan mutu kesehatan dan penyebaran berbagai penyakit lain seperti diare.  Akses terhadap air bersih masih menjadi persoalan di banyak tempat dengan kecenderungan akses rumahtangga di Jawa – Bali lebih baik dibanding daerah lain.

Kesulitan memperoleh air minum menyebabkan kaum perempuan harus berjalan jauh mencari sumber-sumber air. Masyarakat miskin di perkotaan terutama yang tinggal di pinggiran sungai mengalami kesulitan memperoleh air bersih sehingga harus membeli air minum dengan harga yang lebih mahal dari harga yang dibayar oleh kelompok kaya.  Masyarakat miskin juga mengalami masalah dalam mengakses sumber-sumber air yang diperlukan untuk usaha tani dan menurunnya mutu air akibat pencemaran

7)    Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah

Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.  Masalah tersebut sangat dirasakan oleh petani penggarap yang sering tidak mampu memenuhi kebutuhan subsisten.  Masalah pertanahan juga nampak dari semakin banyak dan meluasnya sengketa agraria.  Sengketa agraria di beberapa daerah terutama di Jawa dan Sumatera sering dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang terjadi pada masa kolonial dan hingga kini tidak terselesaikan berdasarkan nilai dan rasa keadilan masyarakat.  Konflik semacam itu terus menguat sebagai sengketa pertanahan yang terjadi di atas lahan perkebunan dan kawasan hutan.  Konflik agraria juga terjadi sebagai dampak dari kebijakan pertanahan masa lalu yang ekspansif dalam luasan lahan dan modal untuk memfasilitasi kebijakan pembangunan.  Kebijakan itu menunjuk pada pemihakan pada pemilik lahan luas hingga akhirnya memperkuat ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dan mempengaruhi kondisi kemiskinan di perdesaan dan masyarakat petani penggarap.

Kehidupan rumahtangga petani sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.  Tingkat pendapatan rumahtangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai.  Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di perdesaan.

Masalah ketimpangan gender juga terlihat dalam penguasaan tanah. Secara umum, penguasaan tanah lebih sering dipegang oleh laki-laki dibanding perempuan. Dalam berbagai kasus pembuatan sertfikat tanah yang dibeli setelah pernikahan, sertifikat umumnya dibuat atas nama suami sebagai kepala rumahtangga dengan kesepakatan bersama.  Tanpa menguasai sertifikat tanah, perempuan akan sulit menggunakan tanah sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit usaha.  Hal ini berdampak pada terbatasnya peluang bagi perempuan dalam pengembangan usaha.

8)    Memburuknya Kondisi Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam

Kemiskinan mempunyai kaitan erat dengan masalah sumberdaya alam dan lingkungan hidup.  Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam dan perubahan lingkungan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya alam dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di lingkungan permukiman yang buruk dan tidak sehat.

Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pesisir sebagai nelayan merasakan adanya penurunan tangkapan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan oleh masuknya perahu trawl milik pemodal besar dan pencurian ikan oleh nelayan negara asing yang menggunakan perahu lebih modern. Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar daerah pertambangan tidak dapat merasakan manfaat secara maksimal. Mereka hanya menjadi buruh pertambangan tanpa ada hak atas kepemilikan terhadap areal pertambangan yang dikuasai oleh para pemilik modal atas ijin dari negara. 

9)    Lemahnya Jaminan Rasa Aman

Konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti di Aceh, Poso, dan Ambon berdampak langsung pada merosotnya taraf hidup masyarakat miskin dan munculnya masyarakat miskin baru. Lemahnya jaminan rasa aman dalam lima tahun terakhir juga terjadi dalam bentuk ancaman non kekerasan antara lain, kerusakan lingkungan, perdagangan perempuan dan anak (trafficking), krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obat terlarang yang menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Situasi keamanan yang memburuk ini menimbulkan dampak pada kondisi kemiskinan. Rata-rata penghasilan rumah tangga di Aceh dan Poso mengalami penurunan drastis masing-masing 50% dan 34%. Setelah konflik jumlah penduduk miskin meningkat, keluarga kehilangan anggota rumah tangga dan harta benda. Selain itu, aliran pengungsi dari daerah konflik ke daerah yang lebih aman menimbulkan masalah sosial-ekonomi di daerah penampungan. Permasalahan kemanan lain yang terjadi adalah aksi terorisme, seperti aksi teror bom di beberapa kota di Indonesia. Aksi teror tersebut mempunyai dampak yang signifikan pada rasa aman masyarakat, iklim investasi, dan pariwisata.

Konflik telah menyebabkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya infrastuktur ekonomi yang menyebabkan langkanya ketersediaan bahan pangan, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa amarah, putus asa dan trauma kolektif.  

10) Lemahnya Partisipasi

Tidak terpenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin menyentuh langsung persoalan kapabilitas dasar yang kemudian menghambat mereka untuk mencapai harkat martabat sebagai warganegara. Gagalnya kapabilitas dasar itu sering muncul dalam kasus-kasus tersingkirnya masyarakat miskin dari kehidupan sosial masyarakat dan membuat semakin tidak berdaya. Kasus tersebut terjadi sebagai akibat dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek.

Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan.  Berbagai bentuk musyawarah pembangunan dan konsultasi publik dalam pengambilan keputusan hanya terbatas untuk kalangan pemerintah dan kurang melibatkan masyarakat miskin. Masyarakat miskin juga jarang dilibatkan dalam penentuan alokasi anggaran. Pembahasan anggaran hanya dilakukan secara tertutup dan terbatas oleh pemerintah dan parlemen. Kurangnya informasi mengenai proses tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi masyarakat miskin.

b.    Beban Kependudukan

Beban masyarakat miskin makin berat akibat besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.  Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.  Beratnya beban rumah tangga menyebabkan peluang anak dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan menjadi terhambat dan seringkali mereka harus bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan keluarga.

Masyarakat miskin di perdesaan seringkali terpaksa pindah ke kota dengan harapan akan mendapat kesempatan kerja untuk memperoleh pendapatan. Akibat langsung dari urbanisasi adalah meningkatnya beban kota dalam menyediakan fasilitas layanan publik dan lapangan kerja, dan meningkatnya permukiman di bantaran sungai, pinggiran rel, kolong jembatan dan lahan kosong lainnya.

c.    Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender

Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki berbeda dari perempuan.  Kemiskinan dan pemiskinan perempuan mengikuti deret ukur, sementara laki-laki mengikuti deret hitung.  Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan terletak pada budaya patriarki yang bekerja melalui pendekatan, metodologi, dan paradigma pembangunan.  Sistem pemerintahan yang hirarki, hegemoni dan patriarki telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Angka yang menjadi basis pengambilan keputusan, penyusunan program dan pembuatan kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki.  Data tersebut dikumpulkan secara terpusat tanpa memperhatikan kontekstualitas dan tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan-laki-laki sehingga kebijakan, program, dan lembaga yang dirancang menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan.

Budaya patriarki yang dilegitimasi oleh negara, mengakibatkan perempuan berada pada posisi tawar yang lemah, sementara suara perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak tersalurkan melalui mekanisme pengambilan keputusan formal. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi positif antara keterwakian perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif dengan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi partisipasi perempuan, maka semakin tinggi kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Pengalaman dan penghayatan perempuan terhadap persoalannya mengakibatkan pengelolaan dan pengendalian tata pemerintahan menjadi efisien dan efektif. Masalah keterwakilan suara dan kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik tersebut sangat penting karena produk kebijakan yang netral gender hanya akan melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang berakibat pada pemiskinan kaum perempuan.  

D.   MENANGGULANGI KEMISKINAN DESA

Greogrius Sahdan 

Penulis mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (2003) mengenai penyebab dasar kemiskinan, yaitu

1.   Kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal

2.   Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana

3.    Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor

4.   Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung

5.   Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern)

6.   Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat

7.   Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya

8.   Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance)

9.    Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan. 

Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah :

       Kepemilikan tanah dan modal yang terbatas

       Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan

       Pembangunan yang bias kota

       Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat

       Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi

       Rendahnya produktivitas

       Budaya hidup yang jelek

       Tata pemerintahan yang buruk

       Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA 

Akhmadi; Studi Keluar dari Kemiskinan : Kasus di Komunitas RW 4, Dusun Kiuteta – Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah – Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur; SMERU; 2006

 mop_kupang.htmmop_kupang.htmwww.smeru.or.id/report/field/mop/l

BAPPENAS; Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan; BAPPENAS; Jakarta; 2004 

BAPPENAS – ADB TA. 4762 – Ino; Pro-Poor Planning and Budgeting, Kartu Penilaian Pengentasan Kemiskinan Kabupaten Kupang; Kupang; 2005

p3b.bappenas.go.id/docs/ScoreCard/Kupang%20Score%20Card.pdf 

BAPPENAS – Bank Dunia; Mengurangi Kemiskinan Indonesia (Policy Briefs); World Bank; Jakarta; 2005 

BPS NUSA TENGGARA TIMUR; Nusa Tenggara Timur dalam Angka – Tahun 2007; Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur; Kupang; 2008 

Dharmawan, Arya Hadi; Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial; Bogor; 2002

Trust_Society_Mimbar_Sosek_Arya_final_2006www.psp3ipb.or.id/uploaded/ 

Gasperz, Vincent dan Esthon Foenay, Kinerja Pendapatan Ekonomi Rakyat dan Produktivitas Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Artikel – Th. II – No. 8 – Nopember 2003 

Gregorius Sahdan; Menanggulangi Kemiskinan Desa; Artikel – Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan; Maret 2005 

Hastuti dan Musriyadi Nabiu; Kredit Perdesaan di Kabupaten Kupang – Nusa Tenggara Timur; SMERU; 2000

kreditdesaNusaTenggaraTimur/kupang&typ=frwww.smeru.or.id/report/form.php?rep=field/ 

Israel, Arturo; Pengembangan Kelembagaan – Pengalaman Proyek-proyek Bank Dunia; LP3ES; Jakarta; 1992 

Kusnadi; Dinamika Kelompok Etnik, Etnisitas dan Pembangunan Daerah (Konflik Sosial dalam Perebutan Sumberdaya); 2005

152.118.58.226/ index2.php?option=content&do_pdf=1&id=39 

Mubyarto; Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia; Artikel – Th. II – No. 2 – April 2003 

Muller, Johannes; Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu; Gramedia Pustaka Utama; Jakarta; 2006 

Mustasya, Tata; Kemiskinan, Modal Sosial dan Kelembagaan; 2005

www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg22473.html 

Roosganda, Elizabeth; Penguatan dan Pemberdayaan Kelembagaan Petani mendukung Pengembangan Agribisnis Kedelai; Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian; Bogor; 2008

pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas4Des07_MP_C_ROS.pdf 

SMERU; Apa itu Kemiskinan dan Apa Penyebabnya; SMERU NEWS; No. 2, April – Juni 2002 

SMERU; Tantangan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur; SMERU NEWS; No. 20, Okt – Des 2006