Tags

, ,


Profesi pekerjaan sosial memandang kemiskinan sebagai masalah yang multidimensional. Ellis dalam Suharto (2006) mengatakan bahwa “dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis”. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ekonomi tidak hanya menyangkut aspek finansial tetapi meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Secara politik, kemiskinan dilihat dari rendahnya akses terhadap kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya. Tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan adalah : 1) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat, 2) bagaimana orang dapat ikut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumber daya yang tersedia dan 3) bagaimana kemampuan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.

Suharto (2006 : 148 – 149) mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:

1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.

3. Kelompok rentan (vunerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.

Kemiskinan oleh profesi pekerjaan sosial lebih dipandang sebagai persoalan-persoalan struktural tetapi dalam upaya pemecahannya pekerjaan sosial menekankan keberfungsian sosial sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjerat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Strategi pekerjaan sosial dalam menanggulangi kemiskinan adalah peningkatan kemampuan individu dan kelompok dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya sesuai dengan statusnya. Oleh karena itu, untuk dapat merancang model intervensi dan strategi pemecahan masalah yang tepat maka lebih dulu perlu diketahui mengenai pengertian kemiskinan, karakteristik, indikator dan dimensinya.

A. Pengertian

Menurut Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Achmad Rozany (2008 : 3 – 4) “kemiskinan secara konseptual dapat dibedakan atas tiga pengertian, yaitu kemiskinan subyektif, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam pengertian kemiskinan subyektif, setiap orang mendasarkan pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa kebutuhannya tidak terpenuhi secara cukup walaupun secara absolut atau relatif sebenarnya orang itu tidak tergolong miskin”. Kemiskinan subyektif terjadi karena individu menyamaratakan keinginan (wants) dengan kebutuhan (needs). Pengertian kemiskinan absolut adalah kondisi di mana seseorang atau keluarga memiliki pendapatan tetapi tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan minimumnya sehari-hari secara efisien. Pengertian kemiskinan relatif berkaitan dengan konsep relative deprivation di mana kemampuan pemenuhan kebutuhan seseorang atau sebuah keluarga berada dalam posisi relatif terhadap anggota masyarakat lain yang tinggal dalam satu wilayah. Konsep ini terkait erat dengan ketimpangan pendapatan.

Pengertian kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan Achmad Rozany (2008) berbeda dengan pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik. Menurut BPS (2008), berbagai masalah kemiskinan dapat dikelompokkan dalam empat terminologi, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan absolut menurut BPS, ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan pokok minimumnya seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang dan nilai minimum kebutuhan dasar yang dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Oleh karena itu, penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Pengertian kemiskinan absolut lebih banyak digunakan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada berbagai sektor pelayanan publik, misalnya di bidang pangan, kesehatan, pendidikan dan perumahan. Untuk mengukur kemiskinan dan kriteria penduduk miskin, pemerintah antara lain menggunakan pendekatan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk pemenuhan kebutuhan dasar minimum, pendekatan rata-rata per-kapita dan pendekatan klasifikasi keluarga sejahtera seperti yang digunakan oleh BKKBN. Pada tahun 2004 BPS menggunakan pendekatan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan 2.100 kkal/hari ditambah pengeluaran bukan makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang, kesehatan, pendidikan, transport dan barang-barang lainnya). Pada tahun 2008, BPS menetapkan lagi 8 variabel yang dianggap layak dan operasional sebagai indikator untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu : 1) luas lantai per-kapita, 2) jenis lantai, 3) air minum/ketersediaan air bersih, 4) jenis jamban/wc, 5) kepemilikan aset, 6) pendapatan per-bulan, 7) pengeluaran, khususnya prosentase pengeluaran untuk makanan dan 8) konsumsi lauk pauk.

Pendekatan yang digunakan BPS relatif lebih sederhana dan mudah dilakukan pengukurannya dibandingkan beberapa pendekatan dan pengertian lainnya mengenai kemiskinan. Namun pendekatan dan pengukuran ini mempunyai kecenderungan mengabaikan perkembangan standar kebutuhan minimum manusia yang mengikuti perkembangan dan kemajuan pembangunan maupun teknologi. Sebagai contoh, sebelum era tahun 2000 kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan komunikasi dapat terpenuhi melalui media cetak (koran dan majalah) dan media elektronik (radio dan televisi). Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat sudah mengalami peningkatan yang sangat tinggi terhadap televisi kabel, telepon kabel, telepon seluler dan internet.

Penggunaan definisi kemiskinan absolut dalam perencanaan program penanggulangan kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah karena definisi dan pendekatan yang tersebut dapat digunakan untuk menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu atau perkiraan dampak suatu proyek terhadap kemiskinan. Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang digunakan oleh Bank Dunia untuk dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Bank Dunia menggunakan pendekatan ini karena memudahkan dalam menentukan kemana dana bantuan akan disalurkan dan kemajuan yang dicapai suatu negara dapat dianalisis.

Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS (2008) adalah “suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan”. BPS mengemukakan bahwa standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk miskin. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk. Pengertian kemiskinan relatif sebagaimana yang dikemukakan oleh BPS lebih menunjuk pada kesenjangan pendapatan dan pengeluaran antar wilayah dalam suatu negara atau antar negara di dunia. Pengertian kemiskinan relatif menurut BPS cenderung mengarah pada ukuran kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap masyarakat sedangkan pengertian kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Supadi dan Akhmad Rozany lebih menunjuk pada pembandingan kondisi obyektif tingkat kesejahteraan seseorang terhadap orang lain dalam suatu wilayah atau suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda wilayah. Menurut Suparlan dalam Masjkuri (2007 : 40 – 41),

“kemiskinan adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin”.

Pengertian yang dikemukakan Suparlan memandang kemiskinan sebagai suatu masalah yang relatif pada seseorang atau sekelompok orang dalam suatu wilayah. Pengertian kemiskinan ini juga merujuk pada perbedaan status sosial dan ekonomi anggota-anggota masyarakat dalam suatu komunitas. Dalam pengertian kemiskinan yang dikemukakan oleh Sarasutha dan Noor maupun Suparlan terlihat bahwa tidak ada ukuran yang baku yang digunakan untuk menetapkan suatu kondisi individu atau kelompok sebagai kondisi miskin. Tidak adanya pengukuran yang baku mengenai kondisi miskin yang relatif tersebut di satu sisi memudahkan untuk menentukan kelompok sasaran pemberdayaan berdasarkan pengamatan dan analisis terhadap perbedaan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam suatu komunitas. Namun di sisi lain, tidak adanya ukuran standar yang baku untuk menetapkan tingkat kemiskinan dalam pengertian kemiskinan relatif ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak ada standar kondisi yang ingin dicapai dalam program pemberdayaan dan kemiskinan relatif ini akan terus terjadi karena ketika kelompok sasaran diberdayakan dan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu selalu ada kemungkinan kelompok keluarga mampu yang dijadikan pembanding meningkat lagi kualitas hidup dan kesejahteraannya.

Berbeda halnya dengan BPS yang menetapkan garis kemiskinan dalam terminologi kemiskinan relatif. Garis kemiskinan untuk setiap sebuah provinsi di Indonesia tidak sama garis kemiskinan di provinsi lainnya. Demikian pula garis kemiskinan masing-masing kabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang sama. Sebagai contoh, BPS (2008) menetapkan garis kemiskinan (kapita/bulan) perdesaan di Jawa Barat[1] sebesar Rp.155.367,- sedangkan di perkotaan sebesar Rp. 190.824,-. Perbedaan ini terjadi karena harga-harga kebutuhan dasar minimum di perdesaan yang relatif lebih kecil daripada di perkotaan. Perbedaan garis kemiskinan juga disebabkan oleh perbedaan jenis kebutuhan minimum, misalnya : masyarakat miskin perdesaan biasanya mempunyai rumah sendiri sekalipun kondisinya kurang layak sedangkan masyarakat miskin di perkotaan umumnya tinggal di rumah sewa atau kontrakan.

Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai kemiskinan relatif, penulis mencermati adanya kaitan langsung antara pengertian kemiskinan relatif dengan pengertian kemiskinan subyektif. Seseorang atau sekelompok orang merasa dirinya miskin bukan hanya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya tetapi mereka merasa miskin karena membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya mempunyai kehidupan dan status sosial ekonomi yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, ada orang atau sekelompok orang yang memandang orang lain sebagai orang miskin karena membandingkan kemampuan dirinya terhadap ketidakmampuan orang atau kelompok lain tersebut.

Individu atau kelompok yang merasa dirinya miskin tetapi mempunyai motivasi tinggi untuk mengatasi masalahnya cenderung melakukan berbagai cara dan usaha untuk keluar dari kondisi miskin yang dialaminya. Namun pada individu atau kelompok tertentu kondisi miskin tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa, berlangsung dalam waktu yang lama bahkan diturunkan dari generasi ke generasi. Sikap dan pandangan kelompok yang menganggap kemiskinan sebagai hal yang biasa oleh Taylor (2007) disebut sebagai ’kondisi membiasanya penderitaan’. Taylor mengatakan bahwa :

“Pola hidup sederhana ada dalam komunitas-komunitas yang agak stabil dan lebih kuat, bahkan pola itu semakin meningkat. Lingkungan tempat mereka lahir dan bertumbuh, dalam banyak hal, lebih mudah dihadapi daripada kebudayaan baru yang perlu penyesuaian bahkan mungkin mengkhawatirkan. Ciri pokok “kondisi membiasanya penderitaan” dalam suatu lingkungan adalah bahwa kondisi tersebut sangat sulit disadari oleh orang-orang yang hidup di dalamnya. Dengan demikian, apa yang tampak dari luar sebagai kondisi hidup yang mengerikan, oleh orang-orang yang berada di dalam, dilihat sebagai realitas hidup harian yang tidak menutup kemungkinan bagi berkembangnya rasa senang atau kepuasan”.

Kemiskinan yang digambarkan oleh Taylor menunjukkan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak menyadari kemiskinan yang dialaminya sebagai suatu masalah. Sekalipun mereka memandang kemiskinan sebagai suatu masalah tetapi tidak berupaya untuk mengatasi masalah dan keluar dari kondisi miskin yang memerangkap dirinya. Kondisi membiasanya penderitaan dan perangkap kemiskinan sebagaimana digambarkan Taylor utamanya dapat dilihat pada kelompok-kelompok yang secara turun temurun selalu berada dalam stratifikasi sosial paling bawah. Kelompok masyarakat seperti ini cenderung menerima kemiskinan sebagai nasib. Mereka tidak menangkap peluang dalam perkembangan dan pembangunan di sekitarnya, bahkan seringkali enggan atau takut untuk memulai sesuatu yang baru.

Terbiasanya suatu kelompok dalam kondisi miskin yang memerangkapnya, tidak hanya disebabkan oleh sikap pasrah terhadap nasib tetapi dipengaruhi juga oleh budaya kemiskinan (cultural of poverty). Suparlan (2003 : 4) dalam term of reference (TOR) yang disusunnya untuk seminar mengenai segi sosial dan ekonomi pemukiman kumuh mengatakan bahwa :

“permasalahan informal dan aksesibiliti (warga di pemukiman kumuh) mungkin lebih tepat kalau dilihat dalam kaitannya dengan kebudayaan kemiskinan yang mereka miliki. Sebab bukan hanya mereka itu tidak mempunyai akses tetapi seringkali juga mereka tidak bersedia untuk menggunakan atau salah menggunakan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah melalui pranata-pranatanya”.

Dari pernyataan Suparlan tersebut dapat dilihat bahwa ada kelompok-kelompok miskin tertentu yang sulit untuk diberdayakan sekalipun sudah mendapat bantuan dari pemerintah karena sikap dan perilakunya dipengaruhi budaya kemiskinan. Menurut Lewis dalam Suparlan (2003 : 4 – 6) ”kebudayaan kemiskinan berkembang dalam kehidupan masyarakat orang miskin yang dari generasi ke generasi berikutnya hidup dalam kemiskinan”. Definisi budaya kemiskinan menurut Lewis dalam Masjkuri (2007 : 40) adalah ”suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme”.

Pengertian budaya miskin (cultur of poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis digunakan berbagai pihak sebagai rujukan untuk merumuskan pengertian kemiskinan kultural termasuk oleh BPS. Menurut BPS (2008), ”kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan”. BPS berpendapat bahwa indikator tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap dapat dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengertian kemiskinan kultural yang dikemukakan BPS mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, tradisi dan kebiasaan yang cenderung mengarahkan masyarakat pada sikap apatis, ”nrimo” atau pasrah pada nasib, boros dan bahkan tidak kreatif sekalipun ada bantuan dari pihak luar. Selain itu, kemiskinan kultural tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi disebabkan oleh proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari budaya feodalisme kepada budaya kapitalisme.

Dalam konteks budaya kemiskinan dan kemiskinan kultural, kondisi miskin yang dialami masyarakat juga terjadi karena adanya legalisasi dan penguatan komunitas terhadap sikap dan perilaku negatif anggota-anggotanya. Rendahnya motivasi dan minat kompetisi warga untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tidak dipandang sebagai suatu masalah oleh komunitas bahkan sebaliknya apabila ada warga yang menunjukkan tingkat partisipasi dan tindakan proaktif yang tinggi justru akan menimbulkan kecemburuan sosial, dianggap sebagai upaya untuk menonjolkan diri, menimbulkan persaingan dan kesenjangan di antara mereka sendiri. Hal ini terlihat cukup jelas dalam komunitas yang menjadi latar penelitian. Kegagalan dalam pengelolaan bantuan oleh sekelompok warga yang pernah menerima bantuan modal usaha dari pemerintah dipandang sebagai hal biasa. Komunitas tidak berupaya untuk saling mendukung agar warganya menjadi lebih sejahtera. Beberapa orang warga bahkan seolah-olah khawatir apabila status sosial ekonominya tersaingi oleh warga lain. Ini terlihat dari keengganan warga untuk bekerja sama dalam program pemberdayaan secara mandiri dan kecenderungan penyaluran bantuan yang dibagikan secara merata.

Selain pengertian kemiskinan subyektif, absolut dan relatif, pengertian kemiskinan yang juga perlu digunakan untuk memahami kondisi kemiskinan masyarakat adalah pengertian kemiskinan struktural. Menurut Suyanto dalam BPS (2008 : 7 – 8),

“kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. Kemiskinan dalam kondisi struktur demikian tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang alami atau faktor-faktor pribadi dari orang miskin itu sendiri melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak masyarakat gagal untuk mengakses sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengembangkan dirinya maupun untuk meningkatkan kualitas kehidupannya”.

Pengertian kemiskinan struktural seperti dikemukakan Suyanto menggambarkan bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri masyarakat itu sendiri. Faktor-faktor tersebut utamanya ditengarai berasal dari pemerintah dan struktur-struktur kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Faktor-faktor penyebab dalam pengertian kemiskinan struktural antara lain kebijakan sosial yang tidak berpihak kepada masyarakat, penguasaan sumber daya secara berlebihan oleh pemerintah, pembangunan yang tidak dialokasikan secara adil dan terbatasnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berperan sebagai subyek dalam pembangunan.

Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan, pemerintah melalui Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai “kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat”[2]. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Definisi kemiskinan menurut Bappenas cenderung mengarah pada terminologi kemiskinan struktural karena di dalamnya terkandung makna dan maksud negara untuk memberi kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagaimana hak-hak dasarnya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Perumusan definisi ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Bappenas sebagai suatu lembaga perangkat pemerintah yang mempunyai tugas untuk merancang berbagai kebijakan dan program pembangunan untuk masyarakat.

Pengertian kemiskinan yang kompleks dan disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar diri orang miskin dikemukakan oleh Michel Mollat dalam Muller (2006 : 8). Menurut Mollat, kemiskinan dapat dilukiskan sebagai berikut :

“Orang miskin adalah mereka yang tetap atau sementara dalam keadaan lemah, tergantung dan remeh, dalam keadaan kekurangan yang berbeda-beda menurut zaman dan pola masyarakat serta dalam keadaan tak berdaya dan terhina. Orang miskin tidak memiliki uang, koneksi, pengaruh, kuasa, pengetahuan, keterampilan teknis, kelahiran yang terhormat, kekuatan fisik, kemampuan intelektual, kebebasan pribadi bahkan harkat manusia. Mereka hidup dari hari ke hari dan tidak punya peluang sedikit pun untuk melepaskan diri dari keadaannya tanpa bantuan orang lain. Definisi semacam ini meliputi semua orang yang tersingkirkan dan dicabut hak-haknya, semua orang aneh dan semua kelompok marginal”.

Definisi yang dikemukakan oleh Mollat secara spesifik menunjuk kepada kelompok-kelompok masyarakat yang mengalami masalah ganda dalam kemiskinannya. Gambaran orang miskin tersebut menunjukkan bahwa selain tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, orang miskin mengalami berbagai hambatan yang berasal dari dalam dirinya serta menerima perlakuan dari luar yang membuatnya semakin terpuruk. Selain pengertian-pengertian kemiskinan sebagaimana telah dikemukakan, salah satu pengertian kemiskinan yang perlu dipertimbangkan adalah pengertian kemiskinan yang diungkapkan oleh masyarakat itu sendiri. Standar dan indikator yang digunakan oleh banyak pihak seringkali menyebabkan masyarakat dipaksa atau terpaksa masuk dalam sejumlah program yang tidak difahaminya dan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Dampak negatif dari perlakuan semacam ini adalah lekatnya stempel kemiskinan pada suatu komunitas yang sebelumnya tidak merasakan adanya masalah. Dampak negatif lainnya adalah pemborosan anggaran untuk berbagai program yang tidak membawa perubahan signifikan terhadap kondisi kehidupan masyarakat.

Selain ciri-ciri yang sudah disebutkan, beberapa ciri yang dikemukakan Suparlan (2003 : 5 – 6) adalah :

1. Kurang atau tidak efektifnya partisipasi dan integrasi golongan miskin dalam pranata-pranata utama yang ada dalam masyarakat luas. Sebabnya adalah karena lingkungan kemiskinan dan kekumuhan yang disebabkan oleh langkanya sumber-sumberdaya ekonomi, menghasilkan adanya segregasi dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan dan apatis. Ini semua menghasilkan adanya jarak sosial antara mereka dengan masyarakat luas.

2. Muncul dan berkembangnya pranata-pranata hutang menghutang, gadai-menggadai, tolong menolong di antara sesama tetangga secara spontan maupun melalui arisan ataupun perkumpulan-perkumpulan sejenis, tidak adanya kesetiaan kerja terhadap satu jenis pekerjaan yang ditekuni atau dengan kata lain cenderung untuk mudah pindah pekerjaan, mengerjakan pekerjaan rangkap asal menguntungkan. Spekulasi atau untung-untungan juga menjadi salah satu ciri dari kebudayaan miskin. Karenanya jenis pekerjaan yang biasanya mereka tekuni adalah di sektor informal yang memudahkan mereka untuk berganti bidang kegiatannya, yang tidak harus mendapat pengesahan hukum untuk melakukannya, yang tidak harus memanfaatkan pranata-pranata atau fasilitas-fasilitas yang berlaku dalam masyarakat luas, dan pada hakekatnya bersifat spekulasi yang keuntungannya langsung dapat dihitung seketika itu juga.

3. Adanya semacam pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, tetapi di lain pihak juga ada sikap-sikap pasrah dan masa bodoh terhadap nasib yang mereka jalani maupun terhadap mereka yang dianggap mempunyai kekuasaan sosial dan ekonomi. Karena itu dengan mudah mereka itu menjadi penurut dan tunduk kepada petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah tetapi dengan mudah mereka itu juga lupa atau melupakannya bila dianggap terlalu ruwet dan hanya menyulitkan diri serta tidak ada keuntungannya untuk diikuti. Sikap seperti ini juga menghasilkan sikap tidak peduli atau masa bodoh kepada orang lainnya, termasuk tetangganya, dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.

4. Wanita atau lebih khusus lagi diperlakukan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai penghasil nafkah bagi kelangsungan hidup rumah tangga. Anak bukan hanya sebagai besaran ego yang diperlakukan sebagai mainan untuk disayangi tetapi juga membantu atau tenaga kerja pencari nafkah orang tua. Anak juga diperlakukan sebagai rasa aman dan keyakinan diri serta sebagai sandaran masa depan kesejahteraan hidup mereka di hari tua. Tetapi, bersamaan dengan itu anak juga dijadikan sasaran pelampiasan frustasi dan keputusasaan. Karena itu anak juga cepat menjadi dewasa baik secara mental maupun seksual.

B. Dimensi

Konsep dimensi kemiskinan antara lain dikemukakan oleh David Cox dalam Suharto (2006 : 132 – 133). David Cox membagi kemiskinan dalam empat dimensi, yaitu :

a. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi.

b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.

c. Kemiskinan sosial, dan

d. Kemiskinan konsekuensial.

Suharto (2006 : 133) mengatakan bahwa konsepsi kemiskinan yang multidimensional ini lebih tepat untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan di Indonesia. Dimensi ekonomi memungkinkan untuk dilakukan pengukuran secara langsung terhadap kemiskinan untuk menetapkan standar baku yang dikenal sebagai garis kemiskinan (line poverty). Dalam konteks politik, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Dimensi sosial psikologis dalam kemiskinan menunjuk pada kurangnya jaringan dan struktur sosial yang dapat mendukung upaya untuk mendapat kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.

Dimensi-dimensi kemiskinan merupakan faktor-faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Hubungan sebab akibat dan saling mempengaruhi ini kemudian menyebabkan masyarakat terjebak dalam perangkap kemiskinan atau sering disebut juga sebagai lingkaran setan kemiskinan. Pada beberapa kelompok masyarakat miskin mungkin bisa jadi kemiskinan pada awalnya dipicu oleh satu atau dua faktor yang dominan, tetapi kemiskinan tersebut menjadi lebih kronis dan berkelanjutan pada saat dimensi lainnya mengarah pada kondisi yang negatif dan tidak memberikan peluang untuk melakukan perubahan. Sarasutha dan Noor dalam Supadi dan Akhmad Rozany (2008) mengatakan bahwa “ketimpangan pendapatan di pedesaan banyak dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem setempat”. Wilayah berproduktivitas rendah mempunyai hubungan timbal balik dengan kemiskinan, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat. Oleh karena itu, suatu wilayah yang tingkat produktivitasnya rendah dapat mengakibatkan masyarakatnya miskin. Demikian pula sebaliknya, ketidakmampuan masyarakat mengelola sumber daya mengakibatkan wilayah itu menjadi miskin.

C. Indikator

Selain indikator kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah, belum ada indikator yang benar-benar tepat dan sesuai untuk digunakan untuk menggambarkan kondisi kemiskinan yang dapat diberlakukan secara umum dan baku terhadap semua komunitas, bukan hanya dari aspek kehidupan ekonominya tetapi juga dari aspek lain, misalnya aspek sosial, hukum dan politik. Menurut Emil Salim (1982)[3], penentuan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok (yang kemudian disebut sebagai garis kemiskinan), dapat dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : 1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, 2) posisi manusia dalam lingkungan sekitar dan 3) kebutuhan obyetif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi. Pendapat ini menunjukkan bahwa memang tidak ada standar yang bisa digeneralisir terhadap semua kelompok masyarakat untuk menetapkan suatu kondisi dan situasi sebagai masalah kemiskinan. Oleh karena itu, indikator-indikator kemiskinan yang masih berlaku dan digunakan untuk menetapkan suatu kondisi sebagai masalah kemiskinan masih menggunakan indikator-indikator

Beberapa metode pengukuran yang digunakan dalam menetapkan indikator kemiskinan adalah sebagai berikut :

a. Metode pengukuran jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari

Metode ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Standar kebutuhan minimum per orang per hari menurut BPS adalah 2100 kalori. Pemenuhan jumlah kalori tersebut sudah diperhitungkan dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk. Pemenuhan kebutuhan lainnya (non makanan) diperhitungkan dari 45 jenis komoditi non makanan dengan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Jumlah pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku di masing-masing wilayah kemudian ditetapkan sebagai garis kemiskinan penduduk di suatu wilayah.

b. Metode pengukuran pendapatan yang disetarakan dengan nilai tukar beras per kapita per tahun

Metode ini dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo (1980) untuk mengukur tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar beras, yaitu :

1) Kelompok paling miskin : bila pendapatannya kurang dari nilai tukar beras sebesar 240 kg/kapita/tahun.

2) Kelompok miskin sekali : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 240 kg sampai dengan 360 kg per kapita/tahun.

3) Kelompok miskin : bila pendapatannya hanya setara dengan nilai tukar beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per kapita/tahun.

4) Kelompok cukup : bila pendapatannya setara dengan nilai tukar beras sebesar 480 kg sampai dengan 960 kg per kapita/tahun.

5) Kelompok kaya : bila pendapatannya sama atau lebih dari nilai tukar beras sebesar 960 kg per kapita/tahun.

c. Metode pengukuran berdasarkan kriteria kesejahteraan keluarga

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2004 menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur kemiskinan. Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN adalah sebagai berikut :

1) Keluarga Pra Sejahtera

Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

2) Keluarga Sejahtera I

Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang digunakan, yaitu :

a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut.

b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.

c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.

d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.

3) Keluarga Sejahtera II

Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan indikator sebagai berikut :

a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.

b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.

c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.

d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.

e) Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.

f) Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap.

g) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.

h) Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.

i) Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).

4) Keluarga Sejahtera III

Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator sebagai berikut :

a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.

b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga.

c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota keluarga.

d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam enam bulan.

f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi.

g) Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi.

5) Keluarga Sejahtera III Plus

Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan ditambah dua syarat berikut :

a) Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.

b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.

Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat sering diperdebatkan di berbagai kalangan karena selain rumit, keluarga-keluarga yang didata belum tentu memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator yang mungkin tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila kurang aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk menerapkan indikator dari BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui di daerah pedesaan. Rumah di perdesaan yang letaknya jauh dari pusat kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu bentuk dan bahan bangunan rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan tanpa mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan ternak yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak miskin.

d. Metode pengukuran jumlah pendapatan

Bank Dunia menggunakan metode pengukuran jumlah pendapatan minimal per hari per orang untuk menentukan garis kemiskinan. Menurut Bank Dunia, pendapatan minimal per orang per hari adalah U$ 1 (setara dengan Rp. 9.000,-). Penetapan pengukuran pendapatan ini tidak disertai dengan pengukuran pengeluaran per orang per hari dengan asumsi bahwa selain kebutuhan makanan pokok, pengeluaran untuk jenis kebutuhan lain (non makanan) tidak selalu dilakukan setiap hari. Apabila disetarakan dengan pendapatan per bulan maka seseorang dikatakan miskin apabila penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp. 600.000,-.

e. Metode pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar

Indikator kemiskinan dengan menggunakan pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar ini dikemukakan oleh BAPPENAS. Masing-masing indikator tersebut adalah :

1) Terbatasnya kecukupan pangan, yaitu kurang dari 2.100 kkal/orang/hari.

2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan yang disebabkan oleh kesulitan mendapat layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh serta biaya perawatan dan pengobatan yang mahal.

3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.

4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah dan lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.

5) Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,

6) Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.

7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.

8) Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.

9) Lemahnya jaminan rasa aman.

10) Lemahnya partisipasi.

11) Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.

Seringkali kondisi kemiskinan yang dialami suatu komunitas tidak memenuhi semua unsur indikator yang telah disebutkan. Indikator-indikator yang terlihat jelas dan berlaku pada komunitas secara umum adalah : 1) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, 2) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, 3) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, 4) terbatasnya akses terhadap air bersih, 5) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, 6) terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam dan 7) lemahnya partisipasi. Perbedaan kemampuan anggota komunitas dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kepemilikan aset/lahan secara tidak langsung telah membuat stratifikasi sosial dalam komunitas. Stratifikasi sosial ini tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang dan pengukuran komunitas terhadap tingkat ekonomi warganya.

D. Karakteristik

Menurut BPS (2008), karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia dikelompokkan dalam bidang sosial demografi, pendidikan, ketenagakerjaan dan perumahan. Uraian ringkas masing-masing karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Sosial Demografi

Karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin meliputi :

1) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,70 (perkotaan) dan 4,64 orang (perdesaan),

2) Prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga mencapai 14,18% (perkotaan) dan 12,30% (perdesaan),

3) Rata-rata usia kepala rumah tangga 48,57 tahun (perkotaan) dan 47,86 tahun (perdesaan),

4) Tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang diukur dengan indikator rata-rata lama sekolah yang dijalani kepala rumah tangga, yaitu 5,19 tahun (perkotaan) dan 4,06 tahun (perdesaan) atau setara dengan tamat SD dan SMP.

b. Karakteristik Pendidikan

Karakteristik pendidikan meliputi :

1) Prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf sebesar 14,30% (perkotaan) dan 19,57% (perdesaan),

2) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga yang Tidak Tamat SD dan Tamat SD, di perkotaan sebesar 37,13% dan 35,55% sedangkan di perdesaan sebesar 45,36% dan 41,15%.

c. Karakteristik Ketenagakerjaan

Karakteristik ketenagakerjaan meliputi :

1) Rata-rata prosentase pengeluaran rumah tangga per-kapita/bulan atau sumber penghasilan utama rumah tangga di perkotaan sebesar 14,71% yang tidak bekerja dan 30,02% yang bekerja di sektor pertanian sedangkan di perdesaan sebesar 8,67% yang tidak bekerja dan 68,99% yang bekerja di sektor pertanian.

2) Status pekerjaan kepala rumah tangga, antara lain : tidak bekerja dan berusaha sendiri (atau berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap), masing-masing sebesar 14,71% dan 40,86% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 8,67% dan 60,63%.

d. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)

Karakteristik tempat tinggal meliputi :

1) Luas lantai < 8 M² sebanyak 31,01% (perkotaan) dan 29,61% (perdesaan),

2) Lantai tanah sebesar 18,68% (perkotaan) dan 31,21% (perdesaan),

3) Jenis atap rumah yang terbuat dari ijuk/rumbia sebesar 0,41% (perkotaan) dan 4,57% (perdesaan),

4) Jenis dinding yang terbuat dari kayu dan bambu, masing-masing sebesar 16,15% dan 17,88% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 30,57% dan 29,33%,

5) Jenis penerangan, yaitu petromax/aladin dan pelita/sentir/obor, masing-masing sebesar 0,56% dan 3,07% untuk perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 1,37% dan 19,71%,

6) Sumber air bersih yang meliputi mata air, sumur tak terlindung, air sungai, air hujan dll sebesar 49,70% (perkotaan) dan 63,99% (perdesaan),

7) Jenis jamban (jamban umum atau tidak ada) sebesar 34,95% (perkotaan) dan 51,66% (perdesaan),

8) Status pemilikan rumah tinggal yang bukan milik sendiri (sewa/kontrak, menumpang, dll) sebesar 14,93% (perkotaan) dan 7,27% (perdesaan).

Sama halnya dengan indikator, pada kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa tidak semua komunitas miskin menyandang semua karakteristik kemiskinan versi BPS atau karakteristik versi lainnya.  Karakteristik yang umum ditemui dalam komunitas miskin adalah : 1) jumlah anggota rumah tangga, 2) prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga, 3) prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf, 4) jenis lantai tanah, 5) jenis penerangan dan 6) status kepemilikan tempat tinggal/rumah.


[1] Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan tahun 2008, BPS Indonesia.

[2] Dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004 – 2009).

[3] Dikutip dari Pengantar Antropologi – Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan; 2009; http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/mkdu_isd/bab8-ilmu_pengetahuan_teknologi_dan_kemiskinan.pdf